Rabu, 13 Januari 2016

Drama Asal Usul Ikan Patin


Asal Usul Ikan Patin

Sumber : belajar-ilmu-pengetahuan-pendidikan.blogspot.com

Alkisah, pada zaman dahulu di tanah Melayu, hiduplah seorang ibu tua yang menjanda bernama Dayang Gading. Ia tinggal seorang diri. Kesehariannya ia bekerja mencara kayu bakar di hutan untuk ia jual di pasar dan terkadang ia mencari ikan disungai untuk lauk makan.
Suatu pagi, Dayang Gading pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan mencari ikan disungai seperti biasa.    
Dayang Gading : (Bersenandung) “Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah 3x!! Biar putus jangan rabut”. Itulah kata-kata yang ia sering ucapkan sewaktu mencari ikan.

Namun, setelah beberapa lama menunggu ia pun tak kunjung mendapatkan ikan. Karena menunggu lama ia pun merasa kelelahan dan putus asa, kemudian ia memutuskan untuk pulang.    
Dayang Gading : “Sudah lama sekali memamcing, tapi satu ikan pun tak ku dapat. lebih baik aku pulang lalu menjual kayu bakar ini saja.” (Sambil membasuh keringatnya)
Belum seberapa jauh ia berjalan, Dayang Gading mendengar suara tangisan bayi, lalu ia pun mencari asal usul suara tersebut.         
Dayang Gading : (Raut wajah bingung) “Suara tangisan bayi siapakah itu? Mengapa ada tangisan bayi di pinggir sungai seperti ini?” (sambil mencari-cari sumber suara tersebut).

Tidak lama kemudian Dayang Gading menemukan bayi tersebut. Ia pun membawa bayi tersebut pulang, akan tetapi sebelum membawanya pulang kerumah, ia menemui ketua adat terlebih dahulu untuk meminta nasihat.   
Dayang Gading : “Aku tak tau, apa yang harus aku lakukan dengan bayi ini, lebih baik aku temui saja Ketua Adat untuk meminta nasihat darinya.”       

Lalu Dayang Gading pun menemui Ketua Adat dengan sangat tergesa-gesa. Dayang Gading : (Wajah tergesa-gesa) “Ninik...ninik...ninik...”          
Ketua Adat : (Wajah bingung) “Ada apa gerangan? Mengapa wajah mu sangat tergesa-gesa untuk menemui ku dan bayi siapakah itu yang ada ditanganmu?”     
Dayang Gading : “Ini bayi yang aku temukan saat aku sedang mancari ikan di sungai, Nik. Apa yang harus aku lakukan dengan bayi ini, Nik?”          
Ketua Adat : “Apakah benar kau menemukan bayi ini dipinggir sungai? Kau tahu, Dyang Gading, bayi ini adalah bayi dari raja sungai, dan kau diberi kepercayaan untuk merawatnya, maka rawatlah ia sampai ia tumbuh menjadi dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.”       
Dayang Gading : “Baiklah nik, akan saya rawat bayi ini dengan baik dengan sepenuh jiwa, raga dan cinta saya.”

Setelah Dayang Gading menemui Ketua Adat, ia pun membawa pulang bayi itu kerumahnya. Dayang Gading  memberi nama bayi tersebut dengan nama Dayang Kumunah dan ia rawat bayi tersebut dengan sangat spesial. Ia pun berjanji akan bekerja lebih giat untuk dapat mneghidupi dirinya dan bayi tersebut.      
Dayang Gading : (Wajah bahagia) “Gusti terima kasih atas pemberian bayi ini untuk ku akan saya rawat bayi ini dengan baik dengan sepenuh jiwa, raga dan cinta saya.”

Ternyata, ada beberapa tetangga Dayang Gading yang tidak suka melihat Dayang Gading memiliki bayi.
Sirancak : (Wajah sirik tak suka) “Masiak, kira-kira bayi siapakah gerangan yang dibawa Gading? Jangan-jangan ia menculiknya dari saudagar kaya raya atau bayi siluman yang ia temukan di sungai atau ditengah hutan?”
Masiak : (Wajah bingung) “Aku juga tidak habis pikir dari mana ia mendapatkan bayi tersebut?”  
Sirancak : “Daripada kita penasaran lebih baik kita ke gubuk Dayang Gading?”
Masiak : “Eh..eh jangan langsung liat, ntar kita ketauan. Gimana kalo kita intip aja si Gading?” (Sambil menepuk-nepuk pundak Sirancak)        
Sirancak : “Ayo mari...” (Sambil menarik tangan Masiak dengan tergea-gesa)         

Lalu mereka pun mengunjungi Dayang Gading untuk mencari tahu asal usul anak tersebut. Tetapi karena mereka takut, akhirnya mereka mengintip dari bilik rumah Dayang Gading.
Masiak : “Eh ..eh liat itu si Gading.” (Sambil menepuk bahu Sirancak)        
Sirancak : “Mana mana, aku ingin liat.” (Sambil menggeser Masiak).           
Masiak : “Itu lo itu.” (Sambil menunjuk Dayang Gading yang ada didalam rumah)
Sirancak : “Oh iya itu... Eh itu bayinya yang lagi digendong sama si Gading.”       
Masiak : “Mana mana?” (Sambil menggeser Sirancak)          
Sirancak : “Jangan geser-geser dong, ntar aku jatuh.” (Mereka pun jatuh)   

Akan tetapi Dayang Gading mengetahui ulah mereka berdua, karena mereka terlalu berisik dan sangat mengganggu Dayang Gading.         
Dayang Gading : (Wajah kaget dan marah) “Apa yang kalian lakukan disini! Mengapa kalian mengendap-endap digubukku ini, apa yang kalian inginkan?”    
Sirancak dan Masiak : (Terkejut dan bingung) “E....e....e...” 
Sirancak : “Ka..kaa...kami ingin mengetahui siapa bayi yang ada ditanganmu itu?”
Masiak : “Iya! Siapa bayi yang ada ditanganmu itu?” (Dengan nada tinggi dan penuh penasaran)
Dayang Gading ; “Ini bayi dari Raja Sungai dan ia mempercayai ku untuk merawat anaknya. Jika kalian tidak percaya silahkan temui ketua adat”               
Sirancak : “Baiklah kami akan menemui Ketua Adat.”         
Masiak : “Awas saja, jika kamu berbohong. Akan aku laporkan denga masyarakat disini.”
Akhirnya mereka berdua pelan-pelan pergi meninggalkan gubuk Dayang Gading, karena mereka merasa bersalah.

Waktu terus bergulir, Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur, karena Dayang Gading telah membekalinya dengan ilmu pengetahuan dan pelajaran budi pekerti. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Dayang Kumunah, yaitu dia tidak bisa tertawa. Sampai akhirnya ada seorang pemuda tampan yang jatuh hati padanya. Pemuda itu bernama Awangku Usop.

Suatu hari Awangku Usop berjalan-jalan dan tak sengaja melewati gubuk Dayang Gading.           
Awangku Usop : “Wahai gerangan siapakah nama adinda yang cantik jelita ini?” (Sambil mendekati Dayang Kumunah yang sedang menyapu)      
Dayang Kumunah : (Terperanjat) “Saya Dayang Kumunah, siapakah engkau wahai pemuda tampan nan gagah?”
Awangku Usop : (Tersipu malu) “Namaku Awangku Usop, pemuda dari desa sebrang. Saya tak sengaja melawati gubuk ini dan melihat adinda cantik jelita.”
Dayang Kumunah : (Dengan muka memerah dan tersipu malu) “Ah..kakanda bisa saja”.

Akhirnya dengan berjalannya waktu dan dari percakapan singkat mereka, mereka pun saling menaruh perasaan satu san lain dan jatuh hati. Kadang pula mereka pun berjalan berdua, hingga suatu hari Awangku Usop ingin menemui Ibu Dayang Kumunah untuk meminta restu dari nya, agar diberikan restu untuk meminang Dayang Kumunah.   
Awangku Usop : “Adinda, bawalah aku kerumah mu, aku ingin berbicara sesuatu kepada ibu mu!” (Sambil berjalan)           
Dayang Kumunah : “Marilah kanda.”

Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai dirumah Dayang Kumunah, di dalam rumah Dayang Gading sedang menunggu mereka. (Azkia)    
Dayang Kumunah : (Sambil membuka pintu) “Assalamualaikum...”
Dayang Gading : Walaikumsalam, dari mana saja kalian?”   
Awangku Usop : “Kami hanya berjalan-jalan disekitar kampung, mbu. Mbu ada yang ingin ku bicarangan dengan mu tentang Dayang Kumunah.”  
Dayang Gading : “Apa yang engkau ingin bicarakan dengan ku?”
Awangku Usop : “Begini mbu, sudah lama kami berteman dan saling menyayangi satu sam lain, apakah mbu memberikan restu, jika aku meminang Dayang Kumunah?”
Dayang Gading : “Jika itu memang mau mu, Mbu bisa apa. Mbu sudah semakin tua dan renta, sudah tidak bisa lagi menjaga Dayang Kumunah. Mbu memberikan restu kepada kalian, tapi semua terserah kepada Dayang Kumunah, anakku.” (Sambil merangkul Dayang Kumunah).     
Dayang Kumunah : (Wajah sedih) “kakanda...jika kau ingin meminang ku, dapatkah engkau menyanggupi syarat yang ku berikan untuk mu?”
Awangku Usop : “Syarat apa yang harus kakanda penuhi? Apa pun yang adinda inginkan akan kakanda lakukan, asalkan adinda bisa menjadi istri kakanda.”  
Dayang Kumunah : “Jangan paksa aku untuk tertawa dalam keadaan apapun, apakah kakanda sanggup memenuhi syarat tersebut?” (Menundukkan kepala dengan wajah sedih)          
Awangku Usop : “Baiklah.. kakanda sanggup untuk memenuhi syarat yang adinda ajukan tadi.” (Sambil memegang tangan Dayang Kumunah)

Pernikahan pun dilangsungkan, tetapi terjadi sebuah kejadian yang tidak bahagia saat pernikahan dilangsungkan. Dayang Gading terserang penyakit jantung secara tiba-tiba, dan tak lama kemudian Dayang Gading pun meninggal dunia. 
Awangku Usop : “Akan aku sematkan cincin ini dijarimu, dan kita pun akan menjadi suami istri.” (Tersenyum sambil melihat Dayang Kumunah dan menyematkan cincin di jari manis Dayang Kumunah).       
Dayang Gading : (Tiba-tiba jatuh)     
Dayang Kumunah : “Mbu..mbu bangunlah mbu.” (Dayang Kumunah menangis, tetapi saat itu juga Dayang Gading telah meninggal)

Dayang Gading meninggal dunia saat pernikahan Dayang Kumunah dilangsungkan. Peristiwa itu membuat hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih hingga berbulan bulan. Awangku Usop berusaha menghibur Dayang Kumunah dengan berbagai cara, namun Dayang Kumunah tetap tidak tertawa.

Untungnya, kesedihan itu segara terobati dengan kelahiran ke 3 buah hati nya.      
Awangku Usop : “Adinda, sudah kah adinda merasa bahagia atas kehadiran buah hati kita?” (Sambil menunjuk ke arah anak-anaknya)    
Dayang Kumunah : “Iya kanda, hidup adinda serasa lebih lengkap dengan kehadiran buah hati kita yang sangat manis nan menggemaskan.”   

Namun, ada sesuatu yang membuat Awangku Usop belum merasa bahagia, karena dari awal bertemu hingga menikah sampai mereka memiliki anak, Dayang Kumunah belum pernah tertawa.
Seiring berjalannya waktu, buah hati mereka, mulai tumbuh besar. Di suatu sore, Awangku Usop, Dayang Kumunah dan anak-anaknya berkumpul diberanda rumah mereka.       
Awangku Usop : (Memanggil anak-anakanya)          

Sambil bercanda ria dan tertawa bahagia di beranda rumah meraka, kecuali Dayang Kumunah. Pada saat itu, Awangku Usop mendesak Dayang Kumunah untuk tertawa.          
Awangku Usop : “Adinda, cobalah untuk tertawa sedikit saja!” (wajah memaksa) 
Anak 1 : “iya Mbu, ayolah tertawa!” (Wajah penuh harap)   
Anak-anak : (Sambil mendekati Dayang Kumunah) “Iya mbu iyaa.. ayolah tertawa bahagia bersama-sama kita”. 
Dayang Kumunah : (Hanya tertunduk dan diam saja sambil merangkul anaknya)
Akan tetapi Awangku Usop tetap memaksanya untuk tertawa.       
Awangku Usop : (Sambil merayu) “Ayolah adinda, kita tertawa bersama-sama, agar kebahagiaan lebih terlihat. Ayolah adinda, untuk ku dan anak-anak kita”          
Dayang Kumunah : (Tetap diam dan tak berkata apa-apa)   
Awangku Usop dan anak-anak : (Berusaha untuk terus merayu Dayang Kumunah agar tertawa)
Dayang Kumunah : (Tersenyum) “Baiklah wahai suami ku yang sangat aku sayangi. Aku akan meluapkan semua kebahagiaan ku saat ini bersama kakanda tercinta dan anak-anakku yang sangat aku sayangi. Kebahagiaan yang aku rasakan selama ini, ketika aku bertemu pertama kali dengan kakanda hingga kita menikah dan memiliki anak-anak yang sangat adinda sayangi”.

Mereka pun sangat senang dengan apa yang dikatakan Dayang Kumunah, hingga mau untuk tertawa bersama-sama. Akhirnya mereka pun bercanda ria bersama-sama, bercerita, hingga akhirnya tertawa bersamasa dan Dayang Kumunah pun ikut tertawa.

Akan tetapi, ketika mereka asik bercanda ria bersama ada kejadian yang membuat tawa mereka hilang. Tanpa disadari saat Dayang Kumunah tertawa terlihat insang di dalam mulut Dayang Kumunah, dan membuat Awangku Usop serta anak-anak kaget dan bingung.     
Awangku Usop : “Wahai adinda, ada apa dengan wajah mu? Mengapa muncul sesuatu yang aneh dari wajah cantikmu adinda?”     
Anak-anak : “Itu apa mbu?” (Wajah kaget)   
Dayang Kumunah : (Berlari sambil menangis menuju sungai)

Dayang Kumunah pun berlari menuju sungai, lalu diikuti oleh Awangku Usop dan anak-anaknya. Tetapi semua sudah terlambat, tepat didepan sungai Awangku Usop dan anak-anaknya memanggil Dayang Kumunah.
Awangku Usop : (Berteriak) “Adinda ku...” 
Anank-anak : “Mbu...mbu” (Sambil menangis)         
Dayang Kumunah : (Berbalik badana sambil menangis) “Kanda, rawatlah anak-anak kita dengan baik”.

Lalu Dayang Kumunah pun menjatuhkan diri ke sungai dan berubah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengkilat tanpa sisik inilah yang orang-orang sebut sebagai ikan patin.           
Awangku Usop dan anak-anak : (Menangis)

Akhirnya Awangku Usop menyadari kesalahaannya dan menyesal, karena telah mendesak Dayang Kumunah untuk tertawa. Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak memakan ikan patin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar