Asal Usul Ikan Patin
Sumber
: belajar-ilmu-pengetahuan-pendidikan.blogspot.com
Alkisah,
pada zaman dahulu di tanah Melayu, hiduplah seorang ibu tua yang menjanda
bernama Dayang Gading. Ia tinggal seorang diri. Kesehariannya ia bekerja
mencara kayu bakar di hutan untuk ia jual di pasar dan terkadang ia mencari
ikan disungai untuk lauk makan.
Suatu
pagi, Dayang Gading pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan mencari ikan
disungai seperti biasa.
Dayang Gading : (Bersenandung) “Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah 3x!! Biar putus jangan rabut”. Itulah kata-kata yang ia sering ucapkan sewaktu mencari ikan.
Dayang Gading : (Bersenandung) “Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah 3x!! Biar putus jangan rabut”. Itulah kata-kata yang ia sering ucapkan sewaktu mencari ikan.
Namun,
setelah beberapa lama menunggu ia pun tak kunjung mendapatkan ikan. Karena
menunggu lama ia pun merasa kelelahan dan putus asa, kemudian ia memutuskan
untuk pulang.
Dayang Gading : “Sudah lama sekali memamcing, tapi satu ikan pun tak ku dapat. lebih baik aku pulang lalu menjual kayu bakar ini saja.” (Sambil membasuh keringatnya)
Dayang Gading : “Sudah lama sekali memamcing, tapi satu ikan pun tak ku dapat. lebih baik aku pulang lalu menjual kayu bakar ini saja.” (Sambil membasuh keringatnya)
Dayang Gading : (Raut wajah bingung) “Suara tangisan bayi siapakah itu? Mengapa ada tangisan bayi di pinggir sungai seperti ini?” (sambil mencari-cari sumber suara tersebut).
Tidak
lama kemudian Dayang Gading menemukan bayi tersebut. Ia pun membawa bayi
tersebut pulang, akan tetapi sebelum membawanya pulang kerumah, ia menemui
ketua adat terlebih dahulu untuk meminta nasihat.
Dayang Gading : “Aku tak tau, apa yang harus aku lakukan dengan bayi ini, lebih baik aku temui saja Ketua Adat untuk meminta nasihat darinya.”
Dayang Gading : “Aku tak tau, apa yang harus aku lakukan dengan bayi ini, lebih baik aku temui saja Ketua Adat untuk meminta nasihat darinya.”
Lalu
Dayang Gading pun menemui Ketua Adat dengan sangat tergesa-gesa. Dayang Gading
: (Wajah tergesa-gesa) “Ninik...ninik...ninik...”
Ketua Adat : (Wajah bingung) “Ada apa gerangan? Mengapa wajah mu sangat tergesa-gesa untuk menemui ku dan bayi siapakah itu yang ada ditanganmu?”
Dayang Gading : “Ini bayi yang aku temukan saat aku sedang mancari ikan di sungai, Nik. Apa yang harus aku lakukan dengan bayi ini, Nik?”
Ketua Adat : “Apakah benar kau menemukan bayi ini dipinggir sungai? Kau tahu, Dyang Gading, bayi ini adalah bayi dari raja sungai, dan kau diberi kepercayaan untuk merawatnya, maka rawatlah ia sampai ia tumbuh menjadi dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.”
Dayang Gading : “Baiklah nik, akan saya rawat bayi ini dengan baik dengan sepenuh jiwa, raga dan cinta saya.”
Ketua Adat : (Wajah bingung) “Ada apa gerangan? Mengapa wajah mu sangat tergesa-gesa untuk menemui ku dan bayi siapakah itu yang ada ditanganmu?”
Dayang Gading : “Ini bayi yang aku temukan saat aku sedang mancari ikan di sungai, Nik. Apa yang harus aku lakukan dengan bayi ini, Nik?”
Ketua Adat : “Apakah benar kau menemukan bayi ini dipinggir sungai? Kau tahu, Dyang Gading, bayi ini adalah bayi dari raja sungai, dan kau diberi kepercayaan untuk merawatnya, maka rawatlah ia sampai ia tumbuh menjadi dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.”
Dayang Gading : “Baiklah nik, akan saya rawat bayi ini dengan baik dengan sepenuh jiwa, raga dan cinta saya.”
Setelah
Dayang Gading menemui Ketua Adat, ia pun membawa pulang bayi itu kerumahnya.
Dayang Gading memberi nama bayi tersebut
dengan nama Dayang Kumunah dan ia rawat bayi tersebut dengan sangat spesial. Ia
pun berjanji akan bekerja lebih giat untuk dapat mneghidupi dirinya dan bayi
tersebut.
Dayang Gading : (Wajah bahagia) “Gusti terima kasih atas pemberian bayi ini untuk ku akan saya rawat bayi ini dengan baik dengan sepenuh jiwa, raga dan cinta saya.”
Dayang Gading : (Wajah bahagia) “Gusti terima kasih atas pemberian bayi ini untuk ku akan saya rawat bayi ini dengan baik dengan sepenuh jiwa, raga dan cinta saya.”
Sirancak : (Wajah sirik tak suka) “Masiak, kira-kira bayi siapakah gerangan yang dibawa Gading? Jangan-jangan ia menculiknya dari saudagar kaya raya atau bayi siluman yang ia temukan di sungai atau ditengah hutan?”
Masiak : (Wajah bingung) “Aku juga tidak habis pikir dari mana ia mendapatkan bayi tersebut?”
Sirancak : “Daripada kita penasaran lebih baik kita ke gubuk Dayang Gading?”
Masiak : “Eh..eh jangan langsung liat, ntar kita ketauan. Gimana kalo kita intip aja si Gading?” (Sambil menepuk-nepuk pundak Sirancak)
Sirancak : “Ayo mari...” (Sambil menarik tangan Masiak dengan tergea-gesa)
Lalu
mereka pun mengunjungi Dayang Gading untuk mencari tahu asal usul anak
tersebut. Tetapi karena mereka takut, akhirnya mereka mengintip dari bilik
rumah Dayang Gading.
Masiak : “Eh ..eh liat itu si Gading.” (Sambil menepuk bahu Sirancak)
Sirancak : “Mana mana, aku ingin liat.” (Sambil menggeser Masiak).
Masiak : “Itu lo itu.” (Sambil menunjuk Dayang Gading yang ada didalam rumah)
Sirancak : “Oh iya itu... Eh itu bayinya yang lagi digendong sama si Gading.”
Masiak : “Mana mana?” (Sambil menggeser Sirancak)
Sirancak : “Jangan geser-geser dong, ntar aku jatuh.” (Mereka pun jatuh)
Masiak : “Eh ..eh liat itu si Gading.” (Sambil menepuk bahu Sirancak)
Sirancak : “Mana mana, aku ingin liat.” (Sambil menggeser Masiak).
Masiak : “Itu lo itu.” (Sambil menunjuk Dayang Gading yang ada didalam rumah)
Sirancak : “Oh iya itu... Eh itu bayinya yang lagi digendong sama si Gading.”
Masiak : “Mana mana?” (Sambil menggeser Sirancak)
Sirancak : “Jangan geser-geser dong, ntar aku jatuh.” (Mereka pun jatuh)
Akan tetapi Dayang Gading mengetahui ulah mereka berdua, karena mereka terlalu berisik dan sangat mengganggu Dayang Gading.
Dayang Gading : (Wajah kaget dan marah) “Apa yang kalian lakukan disini! Mengapa kalian mengendap-endap digubukku ini, apa yang kalian inginkan?”
Sirancak dan Masiak : (Terkejut dan bingung) “E....e....e...”
Sirancak : “Ka..kaa...kami ingin mengetahui siapa bayi yang ada ditanganmu itu?”
Masiak : “Iya! Siapa bayi yang ada ditanganmu itu?” (Dengan nada tinggi dan penuh penasaran)
Dayang Gading ; “Ini bayi dari Raja Sungai dan ia mempercayai ku untuk merawat anaknya. Jika kalian tidak percaya silahkan temui ketua adat”
Sirancak : “Baiklah kami akan menemui Ketua Adat.”
Masiak : “Awas saja, jika kamu berbohong. Akan aku laporkan denga masyarakat disini.”
Akhirnya mereka berdua pelan-pelan pergi meninggalkan gubuk Dayang Gading, karena mereka merasa bersalah.
Suatu
hari Awangku Usop berjalan-jalan dan tak sengaja melewati gubuk Dayang Gading.
Awangku Usop : “Wahai gerangan siapakah nama adinda yang cantik jelita ini?” (Sambil mendekati Dayang Kumunah yang sedang menyapu)
Dayang Kumunah : (Terperanjat) “Saya Dayang Kumunah, siapakah engkau wahai pemuda tampan nan gagah?”
Awangku Usop : (Tersipu malu) “Namaku Awangku Usop, pemuda dari desa sebrang. Saya tak sengaja melawati gubuk ini dan melihat adinda cantik jelita.”
Dayang Kumunah : (Dengan muka memerah dan tersipu malu) “Ah..kakanda bisa saja”.
Awangku Usop : “Wahai gerangan siapakah nama adinda yang cantik jelita ini?” (Sambil mendekati Dayang Kumunah yang sedang menyapu)
Dayang Kumunah : (Terperanjat) “Saya Dayang Kumunah, siapakah engkau wahai pemuda tampan nan gagah?”
Awangku Usop : (Tersipu malu) “Namaku Awangku Usop, pemuda dari desa sebrang. Saya tak sengaja melawati gubuk ini dan melihat adinda cantik jelita.”
Dayang Kumunah : (Dengan muka memerah dan tersipu malu) “Ah..kakanda bisa saja”.
Akhirnya
dengan berjalannya waktu dan dari percakapan singkat mereka, mereka pun saling
menaruh perasaan satu san lain dan jatuh hati. Kadang pula mereka pun berjalan
berdua, hingga suatu hari Awangku Usop ingin menemui Ibu Dayang Kumunah untuk
meminta restu dari nya, agar diberikan restu untuk meminang Dayang Kumunah.
Awangku Usop : “Adinda, bawalah aku kerumah mu, aku ingin berbicara sesuatu kepada ibu mu!” (Sambil berjalan)
Dayang Kumunah : “Marilah kanda.”
Awangku Usop : “Adinda, bawalah aku kerumah mu, aku ingin berbicara sesuatu kepada ibu mu!” (Sambil berjalan)
Dayang Kumunah : “Marilah kanda.”
Dayang Kumunah : (Sambil membuka pintu) “Assalamualaikum...”
Dayang Gading : Walaikumsalam, dari mana saja kalian?”
Awangku Usop : “Kami hanya berjalan-jalan disekitar kampung, mbu. Mbu ada yang ingin ku bicarangan dengan mu tentang Dayang Kumunah.”
Dayang Gading : “Apa yang engkau ingin bicarakan dengan ku?”
Awangku Usop : “Begini mbu, sudah lama kami berteman dan saling menyayangi satu sam lain, apakah mbu memberikan restu, jika aku meminang Dayang Kumunah?”
Dayang Gading : “Jika itu memang mau mu, Mbu bisa apa. Mbu sudah semakin tua dan renta, sudah tidak bisa lagi menjaga Dayang Kumunah. Mbu memberikan restu kepada kalian, tapi semua terserah kepada Dayang Kumunah, anakku.” (Sambil merangkul Dayang Kumunah).
Dayang Kumunah : (Wajah sedih) “kakanda...jika kau ingin meminang ku, dapatkah engkau menyanggupi syarat yang ku berikan untuk mu?”
Awangku Usop : “Syarat apa yang harus kakanda penuhi? Apa pun yang adinda inginkan akan kakanda lakukan, asalkan adinda bisa menjadi istri kakanda.”
Dayang Kumunah : “Jangan paksa aku untuk tertawa dalam keadaan apapun, apakah kakanda sanggup memenuhi syarat tersebut?” (Menundukkan kepala dengan wajah sedih)
Awangku Usop : “Baiklah.. kakanda sanggup untuk memenuhi syarat yang adinda ajukan tadi.” (Sambil memegang tangan Dayang Kumunah)
Pernikahan
pun dilangsungkan, tetapi terjadi sebuah kejadian yang tidak bahagia saat
pernikahan dilangsungkan. Dayang Gading terserang penyakit jantung secara
tiba-tiba, dan tak lama kemudian Dayang Gading pun meninggal dunia.
Awangku Usop : “Akan aku sematkan cincin ini dijarimu, dan kita pun akan menjadi suami istri.” (Tersenyum sambil melihat Dayang Kumunah dan menyematkan cincin di jari manis Dayang Kumunah).
Dayang Gading : (Tiba-tiba jatuh)
Dayang Kumunah : “Mbu..mbu bangunlah mbu.” (Dayang Kumunah menangis, tetapi saat itu juga Dayang Gading telah meninggal)
Awangku Usop : “Akan aku sematkan cincin ini dijarimu, dan kita pun akan menjadi suami istri.” (Tersenyum sambil melihat Dayang Kumunah dan menyematkan cincin di jari manis Dayang Kumunah).
Dayang Gading : (Tiba-tiba jatuh)
Dayang Kumunah : “Mbu..mbu bangunlah mbu.” (Dayang Kumunah menangis, tetapi saat itu juga Dayang Gading telah meninggal)
Dayang
Gading meninggal dunia saat pernikahan Dayang Kumunah dilangsungkan. Peristiwa
itu membuat hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih hingga berbulan
bulan. Awangku Usop berusaha menghibur Dayang Kumunah dengan berbagai cara,
namun Dayang Kumunah tetap tidak
tertawa.
Awangku Usop : “Adinda, sudah kah adinda merasa bahagia atas kehadiran buah hati kita?” (Sambil menunjuk ke arah anak-anaknya)
Dayang Kumunah : “Iya kanda, hidup adinda serasa lebih lengkap dengan kehadiran buah hati kita yang sangat manis nan menggemaskan.”
Namun,
ada sesuatu yang membuat Awangku Usop belum merasa bahagia, karena dari awal
bertemu hingga menikah sampai mereka memiliki anak, Dayang Kumunah belum pernah
tertawa.
Seiring
berjalannya waktu, buah hati mereka, mulai tumbuh besar. Di suatu sore, Awangku
Usop, Dayang Kumunah dan anak-anaknya berkumpul diberanda rumah mereka.
Awangku Usop : (Memanggil anak-anakanya)
Awangku Usop : (Memanggil anak-anakanya)
Sambil
bercanda ria dan tertawa bahagia di beranda rumah meraka, kecuali Dayang
Kumunah. Pada saat itu, Awangku Usop mendesak Dayang Kumunah untuk tertawa.
Awangku Usop : “Adinda, cobalah untuk tertawa sedikit saja!” (wajah memaksa)
Anak 1 : “iya Mbu, ayolah tertawa!” (Wajah penuh harap)
Anak-anak : (Sambil mendekati Dayang Kumunah) “Iya mbu iyaa.. ayolah tertawa bahagia bersama-sama kita”.
Dayang Kumunah : (Hanya tertunduk dan diam saja sambil merangkul anaknya)
Awangku Usop : “Adinda, cobalah untuk tertawa sedikit saja!” (wajah memaksa)
Anak 1 : “iya Mbu, ayolah tertawa!” (Wajah penuh harap)
Anak-anak : (Sambil mendekati Dayang Kumunah) “Iya mbu iyaa.. ayolah tertawa bahagia bersama-sama kita”.
Dayang Kumunah : (Hanya tertunduk dan diam saja sambil merangkul anaknya)
Akan
tetapi Awangku Usop tetap memaksanya untuk tertawa.
Awangku Usop : (Sambil merayu) “Ayolah adinda, kita tertawa bersama-sama, agar kebahagiaan lebih terlihat. Ayolah adinda, untuk ku dan anak-anak kita”
Dayang Kumunah : (Tetap diam dan tak berkata apa-apa)
Awangku Usop dan anak-anak : (Berusaha untuk terus merayu Dayang Kumunah agar tertawa)
Dayang Kumunah : (Tersenyum) “Baiklah wahai suami ku yang sangat aku sayangi. Aku akan meluapkan semua kebahagiaan ku saat ini bersama kakanda tercinta dan anak-anakku yang sangat aku sayangi. Kebahagiaan yang aku rasakan selama ini, ketika aku bertemu pertama kali dengan kakanda hingga kita menikah dan memiliki anak-anak yang sangat adinda sayangi”.
Awangku Usop : (Sambil merayu) “Ayolah adinda, kita tertawa bersama-sama, agar kebahagiaan lebih terlihat. Ayolah adinda, untuk ku dan anak-anak kita”
Dayang Kumunah : (Tetap diam dan tak berkata apa-apa)
Awangku Usop dan anak-anak : (Berusaha untuk terus merayu Dayang Kumunah agar tertawa)
Dayang Kumunah : (Tersenyum) “Baiklah wahai suami ku yang sangat aku sayangi. Aku akan meluapkan semua kebahagiaan ku saat ini bersama kakanda tercinta dan anak-anakku yang sangat aku sayangi. Kebahagiaan yang aku rasakan selama ini, ketika aku bertemu pertama kali dengan kakanda hingga kita menikah dan memiliki anak-anak yang sangat adinda sayangi”.
Akan
tetapi, ketika mereka asik bercanda ria bersama ada kejadian yang membuat tawa
mereka hilang. Tanpa disadari saat Dayang Kumunah tertawa terlihat insang di
dalam mulut Dayang Kumunah, dan membuat Awangku Usop serta anak-anak kaget dan
bingung.
Awangku Usop : “Wahai adinda, ada apa dengan wajah mu? Mengapa muncul sesuatu yang aneh dari wajah cantikmu adinda?”
Anak-anak : “Itu apa mbu?” (Wajah kaget)
Dayang Kumunah : (Berlari sambil menangis menuju sungai)
Awangku Usop : “Wahai adinda, ada apa dengan wajah mu? Mengapa muncul sesuatu yang aneh dari wajah cantikmu adinda?”
Anak-anak : “Itu apa mbu?” (Wajah kaget)
Dayang Kumunah : (Berlari sambil menangis menuju sungai)
Dayang
Kumunah pun berlari menuju sungai, lalu diikuti oleh Awangku Usop dan
anak-anaknya. Tetapi semua sudah terlambat, tepat didepan sungai Awangku Usop
dan anak-anaknya memanggil Dayang Kumunah.
Awangku Usop : (Berteriak) “Adinda ku...”
Anank-anak : “Mbu...mbu” (Sambil menangis)
Dayang Kumunah : (Berbalik badana sambil menangis) “Kanda, rawatlah anak-anak kita dengan baik”.
Awangku Usop : (Berteriak) “Adinda ku...”
Anank-anak : “Mbu...mbu” (Sambil menangis)
Dayang Kumunah : (Berbalik badana sambil menangis) “Kanda, rawatlah anak-anak kita dengan baik”.
Lalu
Dayang Kumunah pun menjatuhkan diri ke sungai dan berubah menjadi ikan dengan
bentuk badan cantik dan kulit mengkilat tanpa sisik inilah yang orang-orang
sebut sebagai ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anak : (Menangis)
Awangku Usop dan anak-anak : (Menangis)